Sepertinya aku sudah merasa nyaman dengan Mas Ahmad. Betapapun Aku mengelak, Aku takkan sanggup menipu rasaku sendiri. Sebagian besar perempuan akan menyerahkan hatinya seutuhnya, jika sudah merasa tertaut pada hati yang tepat. Hati perempuan mampu mengalahkan ego, menundukkan logika. Begitu pula aku. Dan benar, kita punya rasa yang sama. Ia menunjukkan i’tikad baik, menjalin komunikasi dengan keluargaku. Semakin dekat dan dekat, hingga Ia melamarku. Aku senang bukan kepalang. Seharusnya setiap laki-laki bisa seperti Mas Ahmad, menjadikan perempuan sebagaimana mestinya, bahwa seorang perempuan masih milik keluarganya, sebelum menjadi miliknya seutuhnya dalam sebuah ikatan sakral.
Sejak saat itu, kita semakin intens membangun ikatan emosional. Mulai hal-hal kecil hingga detail. Suatu ketika Mas Ahmad berkata padaku : “Aku kagum padamu, Dik Anis. Selain pintar, juga sosok perempuan yang tegar. Pastilah Dik Anis terlahir dari seorang ibu yang hebat. Buah jatuh takkan jauh dari pohonnya”. Begitu ia memujiku. Aku hanya membalas dengan senyum kecil, seperti biasanya. Mungkin senyum ini yang Ia anggap sebagai ketegaran itu. Senyum yang menjadi dinding antara kekariban hubungan kita dengan kisah yang belum sepenuhnya Ia ketahui. Pernyataannya seolah mengandung pertanyaan implisit :
“Di mana sebenarnya ibumu, Dik Anis. Kenapa aku tak pernah melihatnya, sejak aku pertama silaturrahmi ke rumah, hingga saat ini?”. Begitu kiranya andai pertanyaan itu muncul . Dan Aku sudah menyiapkan jawabannya :
“Ibu sedang ke Kota, Mas. Ada urusan, semacam dakwah agama”.
Namun pertanyaan itu tak juga muncul. Dan Aku sangat mengenal Mas Ahmad. Ia belum sampai hati untuk menanyakan itu.
Akhirnya aku akan menceritakannya. Aku ingin melepas secara perlahan tiap selubung yang mungkin akan menghambat hubungan kami. Kebetulan siang ini Mas Ahmad sedang libur kerja. Ia berjanji akan menenemuiku setelah Aku selesai mengajar. Jarak rumah kami hanya sekitar satu jam berkendara. Jadi tak terlalu merepotkan jika kami ingin saling bertemu.
Siang ini kami bertemu di kantin Mbok Sum yang berjarak hanya beberapa langkah dari sekolah. Lingkungan sekolah mulai lengang sesaat setelah bel pulang berdering keras dan para siswa berhamburan keluar kelas. Semilir angin berhembus lembut dari penjuru tanah lapang dan sawah-sawah. Seperti hendak menambah hikmat perjumpaan kami, seperti hendak meneguhkan hubungan kami. Sambil sesekali menikmati gorengan dan berbagai cemilan di kantin Mbok Sum, Aku mulai menggulirkan ceritaku.
“Betapapun Aku mengelak, Aku takkan sanggup menipu rasaku sendiri.”
“Ibu adalah segalanya bagi kami ; Aku dan Bapak. Sosok yang pintar juga tegar, seperti yang Mas sanjungkan ke Aku. Selain pintar mengurus keluarga, Ibu juga pintar soal urusan agama, karena Ia memang lulusan sarjana agama. Ia menjadi salah satu rujukan untuk urusan agama bagi warga dusun kami, terutama dalam hal membangun rumah tangga yang harmonis dan Islami. Ia juga mengajar anak-anak di Taman Pendidikan al-Qur’an setiap sore.
Berbeda dengan ibu, Bapak hanyalah lulusan SMP, yang melanjutkan pekerjaan ‘warisan’ sebagai petani tadah hujan, sebagaimana sebagian besar pekerjaan warga dusun kami. Jenis tanamannya berupa padi untuk musim hujan dan jagung atau kacang hijau untuk musim kemarau. Beberapa warga juga menanam melon, meski hasilnya sama-sama gambling, tak tentu. Saat musim kemarau tiba, orang-orang lebih menyerahkan nasibnya (dan juga tanamannya) pada Tuhan daripada usaha kerasnya. Ibu mengenal Bapak sejak masa kanak-kanak, karena mereka satu dusun. Ibu mulai menyukai Bapak sejak remaja. Alasannya sederhana : Bapak rajin jama’ah di Surau dan rajin mengaji. Mereka saling akrab karena sama-sama ngaji al-Qur’an dengan Mbah Hadi, guru ngaji dan Imam di Surau.
“Kamu seperti menceritakan sebuah sinetron kisah cinta dengan setting pedesaan, Dik Anis. Namun sebenarnya sinetronpun tak pernah cukup mewakili romantisme pedesaan. Replika takkan cukup mewakili realita. Kata tak pernah muat mewadahi luapan makna”.
“Ngomong apa to, Mas. Ndak usah berlebihan gitu lah, jadi orang sastra”. Aku jadi sewot karena Mas Ahmad malah seperti akan membuat cerita sendiri.
“Membuat cerita dalam cerita, itu kayak gerakan separatis Mas, bisa mengganggu stabilitas cerita yang akan kusampaikan. Ndak jadi tuntas malah, nanti”. Sewotku semakin menjadi-jadi.
“Lho, siapa yang membuat cerita sendiri? Aku kan hanya memberi komentar atas apa yang kamu ceritakan, Dik. Tidak lebih”. Ia membantah, namun tak sampai melukai hati. Aku rasa, Ia selalu berhasil membuatku runtuh, atas kekakuan bangunan pola pikirku, atas sikap keras kepalaku. Sekali lagi, inilah wujud hatiku yang lebih dominan dari egoku, lebih unggul dari logikaku.
“Aku rasa, Ia selalu berhasil membuatku runtuh, atas kekakuan bangunan pola pikirku, atas sikap keras kepalaku”.
“Setelah lulus SMP, Ibu melanjutkan belajar di Madrasah Aliyah (setingkat SMA), sedangkan Bapak tidak. Ia memilih menggembala sapi dan kambing-kambingnya, juga membantu orang tuanya di sawah. Sebenarnya itu bukan pilihan, tapi keadaan. Ia memaklumi jika perekonomian orangtuanya tak banyak membantu untuk menunjang pendidikannya.
“Kita sudah bisa makan sehari-hari saja sudah alhamdulillah, Nak. Lihat itu kang Dul dan kang Supri, sudah pandai cari uang sendiri. Kamu juga nanti bisa begitu. Sekarang rajinlah ngaji di Surau dan bantu orang tua, nanti kalau sudah besar bisa jadi bekal buat hidupmu.”
Demikian orangtuanya selalu menguatkan hatinya. Mengaji dan berbakti (pada orangtua) menjadi kunci hidup sebagian besar warga dusun kami. Sederhana dan bersahaja.
Mas Ahmad mengernyitkan dahi, seperti menemukan sesuatu yang tidak beres dari ceritaku.
“Sebentar, itu jaman Bapakmu remaja kan?”
“Ya iyalah, Mas, masa’ jaman Mahajapahit!” jawabku ketus.
“Aku kan sedang nyeritain latarbelakang orangtuaku, Mas. Agar Mas paham secara detail. Agar tak ada lagi selubung yang membuatmu ragu, Mas.” Intonasi suaraku menurun. Ia tersenyum memaklumi. Sepertinya Ia sengaja memberi ‘gangguan’ pada ceritaku yang mengalir tenang sedari tadi.
“Tapi Aku heran, mungkin saat ini kita kesulitan menemukan desa semacam itu .” Mas Ahmad mulai lagi, melemparkan pernyataan-pernyataan yang membuatku kesal sekaligus takjub.
“ Aku berani bertaruh, desa seperti itu tak ada di jaman sekarang”. Ujarnya mantap.
“Kok bisa?”
“Ya, bisa saja. Coba perhatikan, warga desa sekarang ingin seperti warga kota, terutama gaya hidupnya”.
“Tapi tetap saja katrok, kan?”. Sahutku cepat.
Ia memandangku. Dalam sekejap kita tertawa hampir bersamaan.
“Dan warga kota semakin kelihatan agamis”. Aku menyambung pendapatnya.
“ Ya, kita seperti menuju peradaban yang saling berkebalikan”.
“Namun ada dua hal yang tidak berubah”.
“Apa itu?”
“Yang pertama adalah, di kota takkan pernah ada penggembala kambing dan sapi di lapangan rumput yang luas, sedangkan di desa tak pernah ada diskotik dan gedung-gedung pencakar langit”.
“Iya juga sih…Yang kedua?”
“Yang kedua, adalah cintaku padamu, juga takkan berubah”. Aku memelototinya. Seketika aku timpuk pundaknya dengan buku dan aku cubit pinggangnya. Ia tertawa puas, berhasil menggodaku.
Langit sudah menampakkan semburat senja. Kami hampir saja melarutkan waktu. Kantin Mbok Sum juga sudah mau tutup.
“Udah sore Mas, pulang dulu yuk. Lain kali Aku sambung ceritanya”.
“Siap!!”. Ujarnya sambil menirukan gaya komandan upacara ketika memberi hormat kepada pembina upacara.
(Bersambung…)